Sejak ditemukannya prasasti Tengger bertahun 851 Saka (929 Masehi), diperkuat dengan Prasasti Penanjakan bertahun 1324 Saka (1402 Masehi), diketahui bahwa sebuah desa bernama Wandalit yang terletak di pegunungan Tengger dihuni oleh Hulun Hyang (hamba Tuhan = orang-orang yang taat beragama) yang daerah sekitarnya disebut hila-hila (Suci). Oleh karena itu kawasan Tengger merupakan tanah perdikan istimewa yang dibebaskan dari pembayaran pajak oleh pusat pemerintahan di Majapahit.
Masyarakat Tengger yang taat beribadah dan menjalankan adat istiadat, memiliki hubungan historis yang sangat erat dengan Majapahit. Para raja yang bertahta dan pembesar keraton, telah memperlakukan secara khusus masyarakat Tengger yang sejak semula sangat menarik perhatian. Tidak heran jika kemudian terdapat perbedaan cirri-ciri khas antara pemeluk Agama Hindu di Tengger dengan pemeluk Agama Hindu di Bali.
Kukuh dalam mempertahankan adat istiadat selama berabad-abad, tanpa terpengaruh guncangan perubahan zaman, merupakan daya tarik bagi Ilmuwan khususnya para Anthropolog baik dalam maupun dari luar negeri, untuk mengadakan penelitian. Sehingga muncul berbagai versi sajian tulisan tentang uniknya Masyarakat Tengger di Probolinggo. Paparan itu ada yang berbentuk dongeng, cerita rakyat, serat dan kidung, legenda serta penulisan ilmiah. Ilmuwan asing yang pernah menelusuri sejarah Masyarakat Tengger adalah Nancy J Smith dan Robert W Hefner, berdasarkan versi mereka. Masyarakat Tengger sarat dengan acara yang selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan maupun upacara adat. Karena sesanti “Titi Luri” yang mereka pegang teguh, maka setiap upacara dilakukan tanpa perubahan persis seperti yang dilaksanakan oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu (“Titi Luri”, berarti mengikuti jejak para leluhur atau meneruskan Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat nenek moyang secara turun temurun).
Selain taat beribadah dan sangat patuh menjalankan adat-istiadat, Masyarakat Tengger dikenal jujur, patuh, dan rajin bekerja. Mereka hidup sederhana, tenteram, dan damai. Nyaris tanpa adanya keonaran, kekacauan, pertengkaran maupun pencurian. Suka bergotong royong dengan didukung oleh sikap toleransi yang tinggi, disertai sesuatu yang khas, karena senantiasa mengenakan “kain sarung” kemanapun mereka pergi. Tidak terbatas laki-laki, namun wanitapun juga, yang dewasa maupun anak-anak, semua berkain sarung. Masyarakat Tengger masih percaya dengan dengan roh halus, benda-benda gaib, tempat-tempat keramat serta berbagai mitos. Kelompok-kelompok masyarakat Tengger dikepalai oleh seorang “Dukun”. Dukun-dukun tersebut dikepalai oleh Bapak Mudjono selaku Kepala Dukun. Dukun sebagai pimpinan Agama sekaligus sebagai Kepala Adat, bertugas dan bertanggung jawab dalam memimpin upacara-upacara adat. Dalam menunaikan tugasnya, Dukun dibantu oleh beberapa orang petugas yaitu:
1. Wong Sepuh, bertugas sebagai pembantu dalam menyiapkan sesaji upacara-upacara kematian.
2. Legen, bertugas membantu mempersiapkan peralatan dan sesaji pada upacara perkawinan.
3. Dukun Sunat, bertugas melaksanakan khitanan anak laki-laki menjelang umur remaja. Khitan bagi anak laki-laki Tengger berbeda dengan khitan dalam Agama Islam. Khitan anak laki-laki Tengger hanya sekedar memotong sedikit kulit ujung penis.
4. Dukun Bayi, bertugas menolong ibu yang akan melahirkan.
Memperhatikan betapa pentingnya peran dukun bagi Masyarakat Tengger, maka ditetapkan setiap desa dikepalai oleh seorang Dukun. Dukun dipilih oleh warga dengan persyaratan tertentu, yaitu : (1). Laki-laki sudah menikah, (2). Keturunan Dukun / titisan darah, (3). Dapat menguasai semua mantera / adat istiadat. Ujian calon Dukun dilakukan di Poten tempat upacara adat dan dilaksanakan bertepatan dengan Yadnya Kasada.Konon yang merupakan “Cikal Bakal” masyarakat Tengger adalah sepasang suami istri yaitu Rara Anteng (Teng) dan Jaka Seger (Ger). Perpaduan dua suku kata itulah kemudian menjadi akronim yang dikenal dengan nama TENGGER. Rara Anteng ialah seorang putri Prabu Brawijaya dengan Garwa Padmi, raja terakhir Majapahit, yang termashur memiliki wajah ayu rupawan. Ia diasuh oleh seorang Resi bernama Ki Dadap Putih, tinggal dikawasan Gunung Bromo yang pada waktu itu masih berwujud hutan belantara. Pada suatu hari, seorang Senopati berdarah Brahmana yang bernama Jaka Seger sedang menempuh perjalanan jauh melintasi daerah ini bertemu dengan Rara Anteng. Kedua muda-mudi tersebut saling tertarik dan jatuh cinta yang akhirnya dikawinkan oleh Resi Ki Dadap Putih. Sejak saat itu Rara Anteng dan Jaka Seger resmi menjadi pasangan suami-istri. Bertahun-tahun Rara Anteng dan Jaka Seger mendambakan keturunan, namun Yang Maha Kuasa belum juga berkenan mengkaruniai putra. Maka bertapalah mereka di Watu Kuta menghadap Gunung Bromo. Siang malam hanya berdoa semoga Sang Maha Agung mengabulkan permintaannya.
Suatu ketika, terjadi isyarat alam yang sangat dahsyat. Gunung Bromo berdentum hebat. Dari kawahnya menyembur api yang membiaskan sinar kemerahan, menerangi pekat malam dan menyadarkan kekhusukan Rara Anteng dan Jaka Seger yang sedang bertapa. Mereka yakin bahwa peristiwa alam dahsyat yang baru saja terjadi merupakan isyarat bahwa permohonan akan terkabul. Namun isyarat alam itu segera diikuti oleh terdengarnya suara gaib yang mengatakan : “Bahwa kelak apabila Sang Hyang Widhi berkenan mengaruniai putra-putri, salah seorang akan dijadikan korban persembahan ke kawah Gunung Bromo”. Kembali dentuman dahsyat kawah Gunung Bromo itu terjadi, seakan menjadi saksi, bahwa terkabulnya permohonan Rara Anteng dan Jaka Seger harus ditebus dengan persembahan salah seorang anaknya ke Kawah Gunung Bromo.
Ternyata isyarat alam itu benar. Selang beberapa waktu kemudian Rara Anteng melahirkan putra pertama. Anak sulung ini diberi nama Tumenggung Klewung. Disusul kemudian dengan putra-putri berikutnya yang jumlahnya sebanyak 25 orang. Anak paling bungsu diberi nama Raden Kusuma. Kehadiran 25 putra putri tersebut sangat membahagiakan. Namun dibalik kebahagiaan itu terselip kecemasan tentang syarat yang harus dipenuhi. Rara Anteng dan Jaka Seger senantiasa menjaga putra-putrinya dengan hati-hati. Kepada mereka disarankan untuk selalu menjauhi kawah Gunung Bromo. Ketika pada suatu hari terdengar dentuman keras dari kawah Gunung Bromo, pasangan suami istri ini kembali menjadi gundah. Mereka menangkap isyarat alam yang maknanya merupakan peringatan untuk menagih janjinya. Diam-diam ada pertentangan batin yang sangat mengusik, antara kewajiban untuk memenuhi syarat dengan naluri orang tua yang menyayangi putra-putrinya. Pada akhirnya diputuskan untuk tidak merelakan salah satu dari putra-putrinya dijadikan korban persembahan. Mereka tepis semua kecemasan, kesanggupan untuk memenuhi syarat korban persembahan secara perlahan mulai dilupakan.
Putra-putrinya disembunyikan dibalik Gunung Penanjakan dengan harapan terhindar dari bahaya. Tetapi kehendak yang Sang Maha Agung tak bisa dielakkan lagi. Pada suatu hari kawah Gunung Bromo menyemburkan api, lidah api yang membara menjilat Raden Kusuma, menyeretnya masuk ke dalam kawah. Dengan misterius Raden Kusuma hilang. Setelah itu suasana alam menjadi tenang kembali. Dentupan api kawah reda. Dalam keheningan alam, terdengar suara gaib yang mengisyaratkan bahwa hilangnya Raden Kusuma adalah perwujudan dari syarat yang harus dipenuhi, sebagai persembahan kepada Dewata Sang Yang Agung, atas terkabulnya permintaan ketika mereka bertapa. Selanjutnya suara gaib (Raden Kusuma) berpesan agar setiap tanggal 14 bulan Purnama, di Bulan KASADA, disediakan sebagian hasil ladang umtul dikirimkan kepada Raden Kusuma di Kawah Gunung Bromo. Meskipun masih diliputi suasana sedih, suara gaib yang mereka dengar merupakan petunjuk yang mereka yakini untuk kemudian dapat mereka laksanakan. Rara Anteng dan Jaka Seger menyadari meskipun mereka sudah berusaha menjaga dan melindungi putra-putrinya, namun Sang Hyang Agung menghendaki lain. Bagaimanapun kepergian Raden Kusuma yang berkorban mewakili saudara-saudaranya harus mereka ikhlaskan.
Maka setiap tanggal 14 bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden Kusuma beragam hasil ladang ke kawah Gunung Bromo. Upacara persembahan tersebut menjadi tradisi yang diselenggarakan secara turun temurun hingga sekarang yang diberi nama Yadnya Kasada.
Nama putra-putri Rara Anteng dan Jaka Seger yang berjumlah 25 orang itu dikaitkan dengan tempat-tempat keramat di daerah Bromo, yaitu:
1. Tumenggung Klewung (Gunung Ringgit)
2. Sinta Wiji (Gunung Kidangan)
3. Ki Baru Klinting (Lemah Kuning)
4. Ki Rawit (Gunung Sumber Semani)
5. Jinting Jinah (Gunung Jinahan)
6. Ical (Gunung Pranten)
7. Prabu Siwah (Gunung Lingga)
8. Cokro Pranoto Aminoto (Gunung Gendera)
9. Tunggul Wulung (Cemoro Lawang)
10. Tumenggung Klinter (Gunung Penanjakan)
11. Raden Bagus Waris (Watu Balang)
12. Ki Dukun (Watu Wungkuk)
13. Ki Pranoto (Poten)
14. Ni Perniti (Gunung Bajangan)
15. Petung Supit (Tunggukan)
16. Raden Mas Sigit (Gunung Batok)
17. Puspa Ki Gentong (Widodaren)
18. Kaki Teku Niti Teku (Guyangan)
19. Ki Dadung Awuk (Banyu Pakis)
20. Ki Demeling (Pusung Lingker)
21. Ki Sindu Jaya (Wonongkoro)
22. Raden Sapujagad (Pundak Lemdu)
23. Ki Jenggot (Rujag)
24. Demang Diningrat (Gunung Semeru)
25. Raden Kusuma (Gunung Bromo)
Upacara KASADA yang diselenggarakan pada tengah malam ketika Purnama berada diatas kepala itu, dipimpin oleh DUKUN (Kepala Adat) dengan tata cara yang unik. Tidak mengherankan apabila kemudian peristiwa ini sangat dinanti-nanti oleh para wisatawan. Sehingga terasa begitu akbar, karena disaksikan oleh puluhan bahkan ratusan ribu pasang mata yang ikut menyaksikannya.
Laut Pasir yang biasanya lengang menjadi hangar bingar. Tenda didirikan berderet-deret. Laut Pasir ketika itu berubah menjadi lautan manusia yang menyemut. Mereka merayap dengan tertib menaiki tangga menuju puncak Gunung Bromo, dialam terbuka yang dingin, dengan penerangan tunggal yang menggantung di langit, yaitu cahaya Purnama yang temaram. Sungguh merupakan peristiwa yang tidak setiap saat dapat ditemukan.
Dari sekian banyak tamu yang hadir, terdapat orang-orang penting seperti Ilmuwan, Duta Besar Negara Sahabat, Tamu Negara, Menteri, Gubernur, Bupati dan para pejabat lainnya. Bagi masyarakat Tengger, kehadiran beliau-beliau itu merupakan kehormatan. Oleh karena itu, ada diantaranya yang kemudian dinobatkan menjadi “sesepuh” bagi masyarakat Tengger.
Secara etimologi Tengger memiliki arti berdiri tegak, sedangkan secara filosofi Tengger bermakna “Tenggering Budi Luhur”. Maksudnya, masyarakat Tengger selalu berorientasi pada sifat dan kepribadian yang berbudi pekerti luhur. Hal ini menyangkut sikap, pandangan hidup, perilaku, hubungan antar manusia, siklus kehidupan dan konsep tentang manusia, menurut masyarakat Tengger.
Pandangan hidupnya tercermin dari harapan-harapannya seperti Waras (sehat), Wareg (kenyang), Wastra (berpakaian), Wisma (bertempat tinggal), Widya (berilmu dan trampil). Sikap dan tingkah laku berpedoman pada Prasaja (sederhana dan apa adanya), Prayogo (bijaksana), Pranata (taat, patuh dan tertib), Prayitno (waspada) dan Prasetya (setia). Agaknya kesetiaan menjadi landasan bagi terciptanya hubungan antar mereka, yaitu : Setya Budaya (taat pada tradisi dan adapt istiadat), Setya Wacana (mematuhi ucapan, saran dan nasehat), Setya Semaya (menepati janji), Setya Laksana (tekun, siap melaksanakan perintah), Setya Mitra (setia kawan).
Konsep tentang manusia disebutkan adanya siklus kehidupan mulai dari kehamilan dan kelahiran, perkawinan serta kematian. Momen-momen yang menyangkut peristiwa penting tersebut selalu dirayakan dengan Wilujengan (setara dengan upacara adat dan sulit dibedakan dengan upacara agama).
Pada saat ibu hamil 7 bulan dirayakan dengan Upacara Sesayut. Kelahiran disambut dengan upacara untuk memberitahukan tumpah darah atau tanah tempat kelahiran. Cuplak Puser (lepas pusar), dirayakan dengan upacara Kekerik dan pada usia 4 tahun ditandai dengan upacara Tugel Kuncung (pemotongan rambut) bagi anak perempuan dan Tugel Gombok bagi anak laki-laki. Perkawinan kembali dirayakan dengan upacara Walagara. Tentu saja dengan tatacara, sesaji, mantra yang sesuai dengan keperluan wilujengannya. Perkawinan merupakan sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut dua orang yang memadu cinta saja tetapi perkawinan juga melibatkan dua keluarga dan masyarakat secara umum. Menurut kepercayaan Masyarakat Tengger, peristiwa perkawinan juga diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Sebelum upacara perkawinan dimulai, didahului dengan acara nelasih atau ziarah kubur dan memberikan tetamping atau sesaji.
Penyediaan berbagai upacara lengkap dengan sesajinya oleh sebagian orang masih dianggap takhayul, namun kenyataannya masih dilakukan orang dalam berbagai lapisan masyarakat. Proses perkawinan masyarakat Tengger di Ngadisari juga melalui tahapan-tahapan, tidak jauh berbeda dengan adat istiadat daerah lain, yaitu proses mencarikan jodoh, lamaran dan upacara perkawinan itu sendiri. Perkawinan Masyarakat Tengger umumnya masih berlaku antara kalangan mereka sendiri (endogami). Bila calon mempelai wanita Tengger akan menikah dengan pria non Tengger, maka pelaksanaanya harus mengikuti adat Tengger dan menikah dengan acara agama Hindu. Kalau laki-laki Tengger menikah dengan gadis di luar masyarakat Tengger (non Tengger), misalnya menikah dengan gadis Islam, maka perkawinan boleh menurut agama Islam atau sebaliknya. Meskipun ia telah menikah secara non Tengger, tetapi masih diakui sebagai “sedulur” (keluarga) dan tetap dianggap sebagai warga Tengger.
Umumnya pemuda Tengger mencari jodoh atau istri sendiri. Hari perkawinan tidak lepas dari perhitungan weton (hari kelahiran) calon mempelai seperti dalam adapt perkawinan Jawa. Jumlah neptu kelahiran mempelai bila dibagi tiga tidak boleh habis dan yang terbaik bila sisa dua. Tahap selanjutnya apabila kedua orang tua telah setuju, maka calon mempelai laki-laki sendiri yang datang melamar, diantar orang tuanya. Dalam lamaran tidak ada barang “peningset” seperti pada masyarakat Jawa, sebab menurut anggapan mereka, peningset itu merupakan barang pinjaman atau hutang. Biasanya sebelum hari perkawinan, pihak keluarga mempelai laki-laki datang lagi ke rumah calon besan dengan membawa beras dan bahan-bahan mentah lainnya. Pelaksanaan perkawinan bertempat di rumah keluarga mempelai wanita, umumnya pada pagi hari. Mempelai laki-laki duduk di sebelah kanan dukun, sedangkan wali mempelai perempuan duduk di sebelah kirinya. Di depan mereka tersedia seperangkat sesaji terdiri dari 5 piring jenang merah-putih, 1 piring arang-arang kambang, 7 piring nasi dan telur, satu sisir pisang ayu (pisang raja), 7 buah nasi golong dan telur, uang secukupnya.
Sambil membaca mantra, tangan kiri dukun memegang tangan kanan wali, tangan kanannya memegang tangan kanan mempelai laki-laki. Baik mempelai laki-laki maupun wali disuruh menirukan ucapan dukun. Ada kalanya perkawinan terpaksa dibatalkan karena sesuatu sebab, misalnya:
1. Karena hubungan keturunan yang masih dekat, misalnya satu canggah (neneknya nenek).
2. Dadung kepuntir. Contoh, A, B dan C masing-masing mempunyai anak laki-laki dan juga anak perempuan. Mereka bukan keturunan satu canggah. Tetapi kalau anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B, anak laki-laki B kawin dengan anak perempuan C dan anak laki-laki C kawin dengan anak perempuan A, maka perkawinan semacam ini tidak diperbolehkan.
3. Papakan Wali. Contohnya, A dan B masing-masing mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B dan anak laki-laki B kawin mendapat anak perempuan A. Maka perkawinan demikian disebut papagan wali dan tidak diijinkan.
4. Kesandung watang atau kerubuhan gunung, bila akan dilakukan perkawinan ada keluarga dekat yang meninggal dunia, maka perkawinan harus dibatalkan.
Kematian tidak dilaksanakan upacara Ngaben seperti di Bali. Masyarakat Hindu di Tengger tidak mengenal pembakaran mayat seperti di Bali, tetapi melakukan pembakaran boneka berpakaian yang dilambangkan manusia yang meninggal ditempat pembakaran setelah mayat dimakamkan. Sesudah dimandikan dengan air yang dimantrai oleh dukun, mayat orang meninggal lalu dikafani kain putih tiga lapis, kemudian diusung dengan ancak terbuat dari bambu, dikubur membujur ke timur dan terlentang. Selanjutnya diadakan upacara “misahi”, yaitu perpisahan antara orang yang meninggal dengan keluarganya, dipimpin seorang dukun. Selanjutnya setelah 44 hari atau lebih diadakan Upacara “Entas-Entas”.
Upacara ini dimaksudkan untuk memohon ampun kepada Sang Maha Agung agar arwah almarhum yang masih “Nglambrang” (melayang-layang tak menentu) segera dapat masuk surga. Pada upacara entas-entas ini dibuat boneka yang terbuat dari dedaunan, bunga kenikir dan janur kuning yang menggambarkan jasad almarhum. Boneka tersebut disebut petra. Petra diberi pakaian dari pakaian asli almarhum yang dientas. Banyaknya petra yang dientas juga menurut jumlah orang yang meninggal. Dukun membacakan mantra pendahuluan selama lebih dari satu jam sambil membunyikan genta kecil. Di depan dukun ada beberapa anak kecil tidak memakai baju, dikerudungi kain putih. Jenis kelamin dan jumlah anak-anak menurut jenis kelamin dan jumlah yang dientas. Selama dukun membaca mantra, kira-kira baru separuhnya, ibu dukun dibantu beberapa lainnya menanak nasi dengan api dari buah jarak. Selanjutnya dukun membakar sedikit ujung rambut anak-anak tadi, lalu menjarumi kain putih yang dijadikan kerudung. Dukun hanya menirukan gerakan orang menjarum, tetapi tanpa benang. Setelah selesai, dukun menaruh beras dikepala anak-anak tadi, kemudian mengambil itik dan ayam putih mulus, dipatuk-patukan pada beras dikepala anak-anak tadi. Legen memecah buah kelapa dengan parang didepan pintu rumah. Acara terakhir dibacakan mantra penutup oleh dukun, kemudian petra-petra tersebut dibawa ke tempat danyang (tempat peleburan) untuk dibakar. Rupanya pembakaran petra dimaksudkan sebagai pengganti upacara ngaben. Sebagai orang Majapahit, masyarakat Tengger membawa ada dan kebudayaan Majapahit di pemukiman baru. Tetapi tidak nampak kebesaran budaya Majapahit dipemukiman mereka, seperti seni pahat dan seni patung yamh indah, gelar bangsawan atau kasta. Hal ini mungkin karena mereka ingin menyembunyikan identitas diri mereka sebagai pelarian. Namun adat istiadat, agama dan sikap hidup tetap hidup dan dipatuhi hingga sekarang. Mereka berbahasa Jawa Tengger yang khas, agak berbeda dengan bahasa Jawa umumnya di Jawa Timur. Mereka mengenal semedi, puasa ngebleng (tidak makan tidak minum sama sekali), puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih saja), yang biasa dilakukan oleh orang Jawa pada masa lalu. Dasar perhitungan yang digunakan untuk tanggal, bulan dan nama hari, nama bulan bersifat khas dan berlaku khusus bagi masyarakat Hindu di Tengger. Meskipun sebulan berjumlah 30 hari seperti pada umumnya, Masyarakat Tengger hanya mengenal tanggal 1 sampai tanggal 15. Selanjutnya untuk tanggal 16 sampai tanggal 30 disebut panglong 1 sampai panglong 15. Jadi perhitungan tanggal didasarkan pada munculnya bulan Sabit hingga Bulan Penuh (Purnama). Tatkala bulan berjalan susut (berkurang) yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan 30 disebut panglong. Urutan nama hari ia-lah : 1. Soma (Senin), 2. Anggara (Selasa), 3. Budha (Rabu), 4. Wrespati (Kamis), 5. Sukra (Jum’at), 6. Tumpek (Sabtu), 7. Radite (Minggu).
Perhitungan tahun yang dipergunakan adalah Tahun Caka (Saka), 1 Tahun 354 hari terbagi atas 12 Bulan dengan nama-nama bulan sebagai berikut : 1. Bulan Kasa, 2. Bulan Karo, 3. Bulan Katiga, 4. Bulan Kapat, 5. Bulan Kalima, 6. Bulan Kanem, 7. Bulan Kapitu, 8. Bulan Kawolu, 9. Bulan Kasanga, 10. Bulan Kasepuluh, 11. Bulan Desta, 12. Bulan Kasada. Hampir setiap tahun Masyarakat Tengger menyelenggarakan Upacara sesuai dengan sifat dan kepentingannya, sebagai bukti kepatuhan menjalankan adat dan tradisi. Upacara atau perayaan disebut juga Wilujengan itu antara lain :
1. Wilujengan Karo, dilaksanakan tanggal 7 bulan kedua, ditujukan kepada atman atau arwah para leluhur dan pada panglon 1 diadakan upacara sodoran. Sebenarnya Hari Raya Karo merupakan hari raya terbesar bagi masyarakat Tengger dan dilakukan secara bergantian di desa-desa. Segala pikiran dan dana dikerahkan untuk merayakan hari istimewa ini. Peringatan Hari Raya Karo dilakukan dengan menampilkan tarian sakral yang disebut Sodoran. Tarian ini melambangkan gerakan manusia dalam memperoleh keturunan. Upacara Sodoran ini hanya dilakukan di tiga desa yaitu Desa Ngadisari, Wonotoro dan Jetak secara bergantian setiap tahun dan dilakukan hanya oleh satu di suatu tempat upacara (balai desa). Masing-masing kelompok masyarakat desa yang akan melaksanakan upacara Sodoran dipimpin oleh seorang kepala desa setempat yang disebut sebagai ratu dalam tarian sakral tersebut. Untuk menuju ke tempat upacara yang ditentukan, kelompok masyarakat desa tadi berjalan-jalan bersama-sama dengan mengenakan pakaian adat Tengger (terdiri dari ikat kepala atau udeng, baju dan jas hitam, kain panjang). Semua yang dikenakan mulai baju, celana panjangm sepatu/sandal semua warna hitam gelap, mereka menari dengan iringan musik tradisional. Tari Sodoran dilakukan secara bergantian dan diakhiri oleh tarian para ratu serta pengawalnya dengan iringan gamelan. Mulai panglong dua sampai panglong tujuh (tanggal 17 sampai dengan 22), upacara dilanjutkan di rumah masing-masing dengan membuat sesaji tumpeng kecil-kecil, lauk-pauk, bermacam-macam bunga, bermacam-macam kue, kopi, rokok, kapur sirih (kinang), pisang raja dan lain-lain, diikuti acara kunjungan dukun dari rumah ke rumah warga untuk memberikan mantra. Biasanya pekerjaan ini baru bias diselesaikan tiga hari dua malam. Acara ini dilanjutkan dengan kunjungan masing-masing warga kepada sanak saudara atau tetangganya.
Acara baru berakhir pada panglong tujuh dan sebelum panglong tujuh dilakukan nyadran atau jiarah kubur dengan menaruh kembang boreh atau tetamping (sesaji). Selama hari raya Karo, siapapun yang datang bertamu pada warga Tengger, harus menerima jamuan makan dan minum. Bila menolak dianggap tidak menghargai yang punya rumah. Karena itu bila mengunjungi beberapa keluarga, sekaligus harus diatur jangan sampai perut kekenyangan sehingga kunjungan yang terakhir tidak sanggup untuk menerima jamuan makan lagi.
2. Wilujengan Kapat, dilakukan pada tanggal 4 bulan keempat untuk memperingati sedulur papat lima pancer, momong jangkung atau momong dusun (yang menjaga desa) dan monco papating dusun atau kiblat empat desa. Upacara dilakukan dib alai desa.
3. Wilujengan Kapitu, dilaksanakan pada tanggal 1 bulan ketujuh. Diadakan puasa pati-geni, tidak boleh makan dan tidur sehari semalam suntuk, diam di kamar atau di tempat yang sepi, kemudian dilanjutkan dengan puasa mutih, hanya makan nasi putih dan air tawar selama sebulan penuh dan diakhiri dengan puasa pati-geni lagi. Puasa ini biasanya hanya dilakukan oleh pamong desa, terutama dukun, legend dan wong sepuh.
4. Wilujengan Kawolu, dilaksanakan pada tanggal 1 bulan kedelapan, bertujuan menyelamati bumi, air, api, angina, matahari, bulan, bintang dan angkasa luar. Sesaji pada wilujengan Kapat, Kapitu dan Kawolu ini sama dengan sesaji pada wilujengan Karo, hanya berbeda pada mantra-mantranya saja.
5. Wilujengan Kasanga, dilaksanakan pada bulan kesembilan, bertujuan menyelamati babakan hawa sanga, yakni sembilan lubang pada tubuh manusia seperti mulut, telinga, hidung, payudara, kelamin, pusar, dubur, mata dan keringat. Upacara ini bertujuan pula untuk ngruwat desa. Sesaji seperti wilujengan Kapat, Kapitu dan Kawolu, tetapi ditambah lagi dengan seekor ayam, diarak beramai-ramai keliling desa, kemudian ayam tersebut disembelih lalu ditanam di halaman rumah kepala desa.
6. Wilujengan Kasada, dilaksanakan pada tanggal purnama bulan keduabelas bertempat di Poten. Acara ini juga disebut Yadnya Kasada sebagaimana yang telah diuraikan pada halaman terdahulu. Dapur mereka dibuat dari bahan semen dan bata, dengan bahan bakar kayu. Karena hawa yang dingin, biasanya tungku dapur tetap berapi dengan ceret berisi air panas diatasnya. Tungku dapur ini berfungsi juga sebagai tempat perapian. Bila ada tamu akan disilahkan masuk dan duduk di dekat tungku dapur. Sambil berbincang-bincang, tuan rumah akan menyuguhkan kopi panas untuk tamunya. Biasanya kopi bubuk dibuat sendiri dengan aroma yang sedap. Obrolan menjadi semarak dengan suguhan kentang rebus atau keripik kentang. Sambil menghadap tungku, rasa dingin akan berkurang, apalagi bila telah meneguk kopi panas.
Masyarakat Tengger asli jarang yang mengembara meninggalkan daerahnya karena hasil bumi desanya memberi hasil yang cukup untuk hidup. Mereka menanam kentang, kubis, sayur mayor lainnya dan menanam jagung untuk makanan pokok. Pada umumnya mereka kuat berjalan jauh dengan membawa beban yang cukup berat. Rasa taat kepada adat dan agamanya membuat kehidupan dan budaya mereka masih murni dan kukuh, tak terpengaruh oleh tata kehidupan dan budaya dari luar.
Dari banyak hal menarik menyangkut adat dan budaya Masyarakat Tengger, tentang keteguhan dan kepatuhannya dalam mempertahankan tradisi, tentang “wilujengan” atau upacara-upacaranya yang kompleks, unik dan sarat akan “lambing-lambang” terselubung penuh makna, ada satu hal lagi yang memiliki relevansi dengan kelestarian alam dan lingkungan.
Tempat tinggal Masyarakat Tengger di kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru Program jangka panjang Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru akan dikembangkan berbagai jenis tumbuhan penyangga sebagai daerah “buffer zone” untuk pelestarian alam serta keindahan dan populasinya, sangat diperlukan kondisi yang terjaga dan kepedulian masyarakat yang tinggal di lingkungannya.
Taman Nasonal Bromo-Tengger-Semeru, bukan hanya menjadi kekayaan Nusantara, namun akan menjadi kebanggaan dunia Internasional. Masyarakat Tengger dengan “kondisi khasnya” sangat ideal untuk mendukung usaha-usaha pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, sebagai “buffer zone” bagi kawasan Taman Nasonal Bromo-Tengger-Semeru.
Sumber : http://www.probolinggokab.go.id/site/index.php?option=com_content&task=view&id=921&Itemid=1
0 komentar:
Posting Komentar